Nasehat Cinta

Posted on 25 June, 2008 by Habibah


"Saya percaya bahwa cinta yang sebenarnya adalah melepaskan, bukan menggenggam.
Dan, itu pasti menyakitkan. Saya sakit dan memlihara sakit itu hingga sembilan tahun lamamnya".


Ah, itu kan hanya fragmen frustasi seorang pecundang dalam cinta? Begitu kilahku saat membaca penggalan paragfar dalam cerpen Laki-laki Suaminya Danthy-nya Wina Bojonegoro di atas. Cinta, ditinjau dari sisi manapun kadang memang tetap indah sekaligus menyakitkan. Dan cinta, sepahit apapapun kadang akan tetap dikenang, meski hati terlanjur memaki-maki.

Well, peersetan dengan segala macam aturan dan kaidah-kaidah dalam cinta. Yang jelas, setiap orang pasti memiliki cinta, dan cinta yang benar, adalah cinta yang berusaha hidup meski si empunya sedang sekarat. Melankolis bukan? Tapi memang disitulah rasa yang semestinya harus kita rasakan, lantaran setiap tarikan nafas yang kita hembuskan adalah desahan luka, maka tak perlu kita bermuluk-muluk bahwa cinta yang sedang tersemaikan adalah manifestasi totalitas sepotong jiwa.

Apologetik, bukan? Ya, cinta memang sebentuk apologisme yang miris. Bayangkanlah, ketika Cintamu terengggut oleh nestapa kegelisahan, kekalutan-kekalutan yang menyesakakan, dan kau tak mampu memeilih untuk sekedar menghibur jiwamu, kau akan tetap beriskukuh bahwa cintamu adalah ketegaran. Maka saya sering teringat apa yang pernah dikatakan oleh seoranya yang bijak, tentang hakikat cinta;
bahwa cinta yang benar adalah ketika dia tidak mempedulikanmu, kamu masih menunggunya dengan setia
Cinta adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum sambil berkata ,” Aku turut berbahagia untukmu “
Apabila cintamu tidak berhasil, bebaskanlah dirimu
Biarkanlah hatimu kembali melebarkan sayapnya dan terbang ke alam bebas lagi
Ingatlah, kamu mungkin menemukan cinta dan kehilangannya..
Tetapi saat cinta itu dimatikan, kamu tidak perlu mati bersamanya..
Orang yang terkuat bukanlah orang yang selalu menang dalam segala hal
Tetapi mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh
Entah bagaimana, dalam perjalanan kehidupanmu,
Kamu akan belajar tentang dirimu sendiri dan suatu saat kamu akan menyadari
Bahwa penyesalan tidak seharusnya ada di dalam hidupmu
Hanyalah penghargaan abadi atas pilihan pilihan kehidupan yang telah kau buat
Yang seharusnya ada di dalam hidupmu ...

Barangkali, tidak berlebihan ketika seorang Jalaluddin Rumi pernah berkata, bahwa jika cinta ada di satu hati, maka ia pasti ada di hati yang lain. Ya, Rumi memang berbicara tentang cerita cinta dalam bingkai idealitas yang semestinya. Tetapi, cintamu, cinta mereka, dan cinta-cinta yang lain (atau juga cintaku?) berada pada fakta yang berbeda.

Fuihhh, cinta memang rumit. Terlampau sulit untuk disederhanakan dengan logika aksiomatis. Tapi, ah... biarkan masing-maisng kita berbicara cinta mneurut kaca mata kita ...

Mencari Diri pada Sepotong Hati

Posted on 23 June, 2008 by Habibah


Dulu, saya sering berfikir bahwa menjadi orang yang benar-benar jadi orang teramat mudah. Hari berganti hari, sementara apa yang kucari tak kunjung hadir. Lantas, ada semacam skeptisisme yang tiba-tiba menggelayut pedih paa liang-liang diri. Ah, saya lagi-lagi berfikir, bahwa sebenarnya kita tidak pernah benar-benar mencari-cari. 

Maka, sebelum nujuman burung gagak yang kemudian menerka nasib buruk untukku datang menjemput, saya pergi berlari, meninggalkan sepercik matahari. Tapi, lagi-lagi saya berfikir, kita tidak pernah benar-benar pergi. Kita hanyalah memindah-mindah titik, tapi tidak benar-benar memilih nasib. Ah, persetan dengan nasib! Nasib hanyalah pseudo hidup yang terangkai seperti jaring laba-laba di sudut dunia. 

Tapi, bukankah setiap kita punya nasib? Dan, bukankah setiap nasib memiliki dunianya masing-masing? Saya jadi teringat film The Last Samurai dalam TRANS TV Box Office. Ketika itu sang panglima perang sedang berada di tengah kepungan musuh. Hanya tinggal berdua dengan temannya. Di sampingnya mayat prajurit terkapar bergelimpangan. Ah, panglima itu masih menatap sekeliling. Pandangannya begitu nanar. Seolah terpisah pergi jauh antara jiwa dan raganya. Bendera telah dikibarkan. Genderang menang pihak musuh telah bergemuruh. 

Dengan segenap kekuatan yang tersisa, sang teman bertanya pada Panglima, "apakah kau yakin manusia mampu mengubah nasibnya?" Pertanyaan menohok. Tepat ketika keputus asaan telah menjadi kepastian. Ketika ketakberdayaan menjadi keniscayaan.

"Ya, manusia harus berusaha semampunya, hingga ia tahu nasibnya sendiri ..."
Segalanya telah berkahir. Tak ada lagi peperangan.
Tinggal sunyi yang bernyanyi. Tinggal rindu yang kian pilu.


Ah, ku ingin menikamti sepotong sajak dulu ....


Sajak Rindu

Pernahkah kau bayangkan
Rangkaian mimpi yang kupahat di temaram langit
Adalah wujud rinduku yang luruh dalam hening
Dan tenggelam dalam kerik jengkerik di beranda

Pernahkah kau bayangkan
Disetiap rentang waktu yang riuh
dimana kurekat erat binar matamu
Selalu kutitipkan harap disana
Dalam desau angin dan desir gerimis senja

Pernahkah kau bayangkan
Pada kelopak mawar disudut taman
Dan jernih embun yang menitik diatasnya
Kusimpan gigil gairahku yang membara padamu
Disetiap tarikan nafas
saat kulukis paras purnamamu di kanvas hatiku

Risalah Sunyi

Posted on 16 June, 2008 by Habibah

Terbanghlah sesuka hatimu
dan biarkan aku menatapmu dari jauh
dari kampung sunyi ini
tempat kesendirianku menjemput mimpi
biarkan aku hanya punya rindu
dengan caraku, seperti kau dulu
merekahkan senyum untukku

17 Juni 2008
04: 49 Wib

Ya, memang benar kata sebagian orang, bahwa kesan akan diperoleh ketika kita berani untuk mencoba. Dan, aku akan berusaha mencoba untuk selalu menatapmu, meski dari jauh, meski spertinya mustahil menggapaimu. Dulu, aku pernah suka padamu, dan sekarang aku masih sama seperti dahulu. Itu yang harus kau tahu. Toh, kalaupun segalanya telah berlalu, bukanlah aku masih punya rindu?

Barangkali, kau telah menganggapku seorang pengkhianat. Hipokrit! Ya, aku berani jujur, memang begitulah aku! Ah, waktu memang terlalu cepat berlalu. Dan, aku mau tidur dulu ....